Blog ini berisi Artikel dan Tata Cara Beribadah

Thursday 29 November 2012


Tidak ada satu kejadian di antara sekian banyak kejadian yang ditampakkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di hadapan hamba-Nya, melainkan agar kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari kekuasaan yang Allah ‘Azza wa Jalla tampakkan tersebut. Yang pada akhirnya, kita dituntut untuk selalu mawas diri dan melakukan muhasabah.
Di antara bukti kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu, ialah terjadinya gerhana. Sebuah kejadian besar yang banyak dianggap remeh manusia. Padahal RasulullahShallallahu ‘alaihi wa Sallam justru memperingatkan umatnya untuk kembali ingat dan segera menegakkan shalat, memperbanyak dzikir, istighfar, doa, sedekah, dan amal shalih tatkala terjadi peristiwa gerhana.
 Dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah. Sesungguhnya keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah.”(Muttafaqun ‘alaihi).

PENGERTIAN GERHANA
Dalam istilah fuqaha dinamakan kusûf. Yaitu hilangnya cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya, dan perubahan cahaya yang mengarah ke warna hitam atau gelap. Kalimat khusûfsemakna dengan kusûf. Ada pula yang mengatakan kusûf adalah gerhana matahari, sedangkan khusûf adalah gerhana bulan. Pemilahan ini lebih masyhur menurut bahasa. Jadi, shalat gerhana, ialah shalat yang dikerjakan dengan tata cara dan gerakan tertentu, ketika hilang cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya.




 HUKUM SHALAT GERHANA 
Jumhur ulama’ berpendapat, shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. Abu ‘Awanah Rahimahullahmenegaskan wajibnya shalat gerhana matahari. Demikian pula riwayat dari Abu Hanifah Rahimahullah, beliau memiliki pendapat yang sama. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa beliau menempatkannya seperti shalat Jum’at. Demikian pula Ibnu Qudamah Rahimahullah berpendapat, bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah.
Adapun yang lebih kuat, ialah pendapat yang mengatakan wajib, berdasarkan perintah yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Imam asy-Syaukani juga menguatkan pendapat ini. Demikian pula Shiddiq Hasan Khân Rahimahullah dan Syaikh al-Albâni Rahimahullah.  Dan Syaikh Muhammad bin Shâlih ‘Utsaimin Rahimahullah berkata: “Sebagian ulama berpendapat, shalat gerhana wajib hukumnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (jika kalian melihat, maka shalatlah—muttafaqun ‘alaih).
Sesungguhnya, gerhana merupakan peristiwa yang menakutkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallamberkhutbah dengan khutbah yang agung, menjelaskan tentang surga dan neraka. Semua itu menjadi satu alasan kuat wajibnya perkara ini, kalaupun kita katakan hukumnya sunnah tatkala kita melihat banyak orang yang meninggalkannya, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sangat menekankan tentang kejadian ini, kemudian tidak ada dosa sama sekali tatkala orang lain mulai berani meninggalkannya. Maka, pendapat ini perlu ditilik ulang, bagaimana bisa dikatakan sesuatu yang menakutkan kemudian dengan sengaja kita meninggalkannya? Bahkan seolah hanya kejadian biasa saja? Dimanakah rasa takut?
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan wajib, memiliki argumen sangat kuat. Sehingga jika ada manusia yang melihat gerhana matahari atau bulan, lalu tidak peduli sama sekali, masing-masing sibuk dengan dagangannya, masing-masing sibuk dengan hal sia-sia, sibuk di ladang; semua itu dikhawatirkan menjadi sebab turunnya adzab Allah, yang kita diperintahkan untuk mewaspdainya. Maka pendapat yang mengatakan wajib memiliki argumen lebih kuat daripada yang mengatakan sunnah.
Dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin pun menyatakan, “Jika kita mengatakan hukumnya wajib, maka yang nampak wajibnya adalah wajib kifayah.”
Adapun shalat gerhana bulan, terdapat dua pendapat yang berbeda dari kalangan ulama.
Pendapat pertama. Sunnah muakkadah, dan dilakukan secara berjama’ah seperti halnya shalat gerhana matahari. Demikian ini pendapat Imam asy- Syâfi’i, Ahmad, Dawud Ibnu Hazm. Dan pendapat senada juga datang dari ‘Atha, Hasan, an-Nakha`i, Ishâq dan riwayat dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu. Dalil mereka:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah. Sesungguhnya, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai terang kembali.”(Muttafqun ‘alaihi).
Pendapat kedua. Tidak dilakukan secara berjama’ah. Demikian ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Mâlik. Dalilnya, bahwa pada umumnya, pelaksanaan shalat gerhana bulan pada malam hari lebih berat dari pada pelaksanaannya saat siang hari. Sementara itu belum ada riwayat yang menyebutkan bahwa NabiShallallahu ‘alaihi wa Sallam menunaikannya secara berjama’ah, padahal kejadian gerhana bulan lebih sering dari pada kejadian gerhana matahari.
Manakah pendapat yang kuat? Dalam hal ini, ialah pendapat pertama, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kepada umatnya untuk menunaikan keduanya tanpa ada pengecualian antara yang satu dengan lainnya (gerhana matahari dan bulan).
Sebagaimana di dalam hadits disebutkan, “Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangya.”(Muttafaqun ‘alaihi).
Ibnu Qudamah Rahimahullah juga berkata, “Sunnah yang diajarkan, ialah menunaikan shalat gerhana berjama’ah di masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, walaupun boleh juga dilakukan sendiri-sendiri,namun pelaksanaannya dengan berjama’ah lebih afdhal (lebih baik). Karena yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ialah dengan berjama’ah. Sehingga, dengan demikian, sunnah yang telah diajarkan ialah menunaikannya di masjid.”

WAKTU SHALAT GERHANA
Shalat dimulai dari awal gerhana matahari atau bulan sampai gerhana tersebut berakhir. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai kembali terang.” (Muttafaqun ‘alaihi).

KAPAN GERHANA DIANGGAP USAI?
Shalat gerhana matahari tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu (1) terang seperti sediakala, dan (2) gerhana terjadi tatkala matahari terbenam. Demikian pula halnya dengan shalat gerhana bulan, tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu (1) terang seperti sediakala, dan (2) saat terbit matahari. [9]

AMALAN YANG DIKERJAKAN KETIKA TERJADI GERHANA
1.     Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan amal shalih. Sebagaimana sabda NabiShallallahu ‘alaihi wa Sallam,“Oleh karena itu, bila kaliannya melihat, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
2.     Keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat gerhana berjama’ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits,“Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
3.     Wanita keluar untuk ikut serta menunaikan shalat gerhana, sebagaimana dalam hadits Asma’ binti Abu Bakr Radhiallahu’anhuma berkata,“Aku mendatangi ‘Aisyah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tatkala terjadi gerhana matahari. Aku melihat orang-orang berdiri menunaikan shalat, demikian pula ‘Aisyah aku melihatnya shalat.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Jika dikhawatirkan akan terjadi fitnah, maka hendaknya para wanita mengerjakan shalat gerhana ini sendiri-sendiri di rumah mereka berdasarkan keumuman perintah mengerjakan shalat gerhana.
4.     Shalat gerhana (matahari dan bulan) tanpa adzan dan iqamah, akan tetapi diseru untuk shalat pada malam dan siang dengan ucapan “ash-shalâtu jâmi’ah” (shalat akan didirikan), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu’anhuma, ia berkata: Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diserukan “ash-shalatu jâmi’ah” (sesungguhnya shalat akan didirikan). (HR Bukhâri)
5.     Khutbah setelah shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits, ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata: Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tatkala selesai shalat, dia berdiri menghadap manusia lalu berkhutbah. (HR Bukhâri)

TATA CARA SHALAT GERHANA
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa shalat gerhana dua raka’at. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam hal tata cara pelaksanaannya. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama. Imam Mâlik, Syâfi’i, dan Ahmad, mereka berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at. Pada setiap raka’at ada dua kali berdiri, dua kali membaca, dua ruku’ dan dua sujud. Pendapat ini berdasarkan beberapa hadits, di antaranya hadits Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu, ia berkata, “Telah terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka beliau shalat dan orang-orang ikut shalat bersamanya. Beliau berdiri sangat lama (seperti) membaca surat al-Baqarah, kemudian ruku’ dan sangat lama ruku’nya, lalu berdiri, lama sekali berdirinya namun berdiri yang kedua lebih pendek dari berdiri yang pertama, kemudian ruku’, lama sekali ruku’nya namun ruku’ kedua lebih pendek dari ruku’ pertama.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Hadits kedua, dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melaksanakan shalat ketika terjadi gerhana matahari. Rasulullah berdiri kemudian bertakbir kemudian membaca, panjang sekali bacaannya, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, kemudian mengangkat kepalanya (i’tidal) seraya mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah,” kemudian berdiri sebagaimana berdiri yang pertama, kemudian membaca, panjang sekali bacaannya namun bacaan yang kedua lebih pendek dari bacaan yang pertama, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, namun lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian sujud, panjang sekali sujudnya, kemudian dia berbuat pada raka’at yang kedua sebagimana yang dilakukan pada raka’at pertama, kemudian salam…”(Muttafaqun ‘alaihi).
Pendapat kedua. Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at, dan setiap raka’at satu kali berdiri, satu ruku dan dua sujud seperti halnya shalat sunnah lainnya. Dalil yang disebutkan Abu Hanifah dan yang senada dengannya, ialah hadits Abu Bakrah, ia berkata:
“Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka Rasulullah keluar dari rumahnya seraya menyeret selendangnya sampai akhirnya tiba di masjid. Orang-orang pun ikut melakukan apa yang dilakukannya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam shalat bersama mereka dua raka’at.” (HR Bukhâri, an-Nasâ‘i)
Dari pendapat di atas, pendapat yang kuat ialah pendapat pertama (jumhur ulama’), berdasarkan beberapa hadits shahih yang menjelaskan hal itu. Karena pendapat Abu Hanifah Rahimahullah dan orang-orang yang sependapat dengannya, riwayat yang mereka sebutkan bersifat mutlak (umum), sedangkan riwayat yang dijadikan dalil oleh jumhur (mayoritas) ulama adalah muqayyad. [10]
Syaikh al-Albâni Rahimahullah berkata, [11] “Ringkas kata, dalam masalah cara shalat gerhana yang benar ialah dua raka’at, yang pada setiap raka’at terdapat dua ruku’, sebagaimana diriwayatkan oleh sekelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan riwayat yang shahih”. Wallahu a’lam.

Ringkasan tata cara shalat gerhana sebagai berikut.
1.     Bertakbir, membaca doa iftitah, ta’awudz, membaca surat al-Fâtihah, dan membaca surat panjang, seperti al-Baqarah.
2.     Ruku’ dengan ruku’ yang panjang.
3.     Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan: sami’allhu liman hamidah.
4.     Tidak sujud (setelah bangkit dari ruku’), akan tetapi membaca surat al-Fatihah dan surat yang lebih ringan dari yang pertama.
5.     Kemudian ruku’ lagi dengan ruku’ yang panjang, hanya saja lebih ringan dari ruku’ yang pertama.
6.     Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan: sami’allahu liman hamidah.
7.     Kemudian sujud, lalu duduk antara dua sujud, lalu sujud lagi.
8.     Kemudian berdiri ke raka’at kedua, dan selanjutnya melakukan seperti yang dilakukan pada raka’at pertama.
Demikian secara ringkas penjelasan tentang shalat gerhana, semoga bermanfaat.

Pengertian
Shalat sunah rawatib adalah shalat diantara sholat wajib lima waktu dalam sehari yang bisa dikerjakan pada saat sebelum (qobliyah) sholat dan setelah (ba'da) solat wajib. Fungsi sholat sunnah rawatib ini adalah untuk menyempurnakan kekurangan dari shalat wajib.


Tata Cara dan Syarat Kondisi :
1. Dikerjakan sendiri-sendiri (tidak berjamaah).
2. Mengambil tempat sholat yang berbeda dengan tempat melakukan sholat wajib.
3. Dilakukan 2 rakaat dan satu salam.
4. Tidak didahului adzan dan qomat.

Niat Sholat Rawatib
1. Niat Qobliyah :
2. Niat Ba'diyah :

Untuk Sholatnya bisa diganti sendiri sesuai sholat wajibnya

 Jenis Salat Sunat Rawatib

1. Salat sunat qabliyah / qobliyah adalah sholat sunah yang dilaksanakan sebelum mengerjakan solat wajib.
2. shalat sunah ba'diyah adalah sholat yang dikerjakan setelah melakukan shalat wajib.

Macam-macam Sholat Sunah Rawatib

1. Salat sunat rawatib muakkad / penting
Adalah sholat sunat rawatib yang dikerjakan pada :
- Sebelum subuh dua rokaat
- Sebelum zuhur dua rokaat
- Sesudah dzuhur dua rokaat
- Sesudah maghrib dua rokaat
- Sesudah isya dua rokaat

2. Salat sunat rawatib ghoiru muakkad / tidak penting
Adalah sholat sunat rawatib yang dikerjakan pada :
- Sebelum zuhur dua rokaat
- Setelah zuhur dua rokaat
- Sebelum ashar empat rokaat
- Sebelum magrib dua rokaata
- Sebelum isya dua rokaat



Solat Sunnah Istikharah

Sholat ini dilakukan untuk mendapatkan petunjuk dari Allah SWT, terutama apabila seseorang memiliki keraguan untuk  memutuskan apa yang terbaik diantara dua perkara yang diragukan. Seseorang biasanya memiliki keraguan dalam hati untuk memilih atau mengambil keputusan dalam sesuatu perkara, contohnya : Apakah aku harus menolak atau menerima? Apakah aku harus memilih A atau B?. Keraguan semakin terasa, setelah kita mempertimbangkan hal baik atau buruk suatu pilihan. 
Maka dari itu, hendaklah menyerahkan masalah pada Yang Maha Kuasa untuk memilihnya dan jangan lupa untuk berikhtiar. Sebelum seseorang mengambil suatu keputusan maka dianjurkan sholat istikharah dua rakaat. Dengan mengharapkan agar pilihan itu mendapat ridho serta petunjuk dari Allah SWT.



Jika ada keraguan yang masih mempengaruhi fikiran untuk menentukan pilihan, cobalah untuk mengulagi sholat istikharah dan membaca doanya, meskipun pengulangannya sampai 7 kali berturut-turut. Setelah itu, bertawakkallah kepada Allah, pilihlah salah satu daripadanya, ambillah yang mana arah ‘hati’ lebih cenderung setelah berdoa. Jangan menimbulkan keraguan dalam hati, yakinlah bahwa itu adalah pilihan terbaik dari Yang Maha Kuasa.

Jangan merasa kecewa jikalau ternyata dalam keputusan yang dipilih menimbulkan keinginan yang tidak disukai. Ingatlah bahwa itu adalah yang telah digariskan oleh Allah  pada azali yang tidak dapat diubah, besar kemungkinan mengandung hikmah, membawa kebaikan di masa yang akan datang, hendaklah tetap berhusnuz-zan kepada Allah.

Tata Cara Shalat Istikharah
Tata cara solat istikharah hampir sama dengan sholat subuh, Hanya saja niatnya yang berlainan, yaitu berniat sholat istikharah. Sholat ini dilaksanakan sebelum tidur ataupun setelah bangun tidur (afdholnya pada malam hari setelah sholat isya'). Lebih baik lagi jika dilakukan sesudah pada sepertiga malam disaat yang sunyi, supaya hati lebih khusyuk dalam mengemukakan permohonan kepada Allah. Sholat ini sangat pribadi sifatnya. Sebab itu harus dikerjakan sendirian. Sholat ini juga tidak didahului adzan dan iqamah.

Lafaz niat:-
Ushalli Sunnatal Istikharaati Rak’ataini Lillahi Ta’aala
Sahaja Aku sembahyang sunnat istikharah 2 rakat tunai kerana Allah Ta’ala

Rakaat pertama-
Baca surah Al-fatihah dan surah Al-kafirun

Rakaat kedua-
Baca surah Al-fatihah dan surah Al-ikhlas
Selepas salam, bacalah doa yang disarankan dalam istikharah.
Dalam berdoa sebaiknya menyebutkan permintaan yang ingin diberikan petunjuk oleh Allah s.w.t. misalnya: “Ya Allah, jika hal ini….(sebutkan namanya)”


Doa istikharah

Setelah selesai solat, berdoa seperti yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW:


Allaahumma inni astakhiiruka bi’ilmika, wa astaqdiruka biqudratika wa as aluka min fadhlikal azhiim. Fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wata’lamu wa laa a’lamu, wa anta allaamul ghuyuub.

Allaahumma inkunta ta’lamu anna haadzal amra khairun lii fii diinii wama’aasyii wa ‘aaqibati amrii, ‘aajili amrii wa aajilihi faqdurhu lii wa yassirhu lii tsumma baarikliifiihi. Wa inkunta ta’lamu anna haadzal amra syarrun lii fii diinii wa ma’aasyii wa ‘aaqibatu amrii ‘aajili amrii wa aajilihi fashrif annii washrifni ‘anhu waqdur liyal khairahaytsu kaana tsumma ardhinii bihi, innaka ‘alaa kulli syai-in qadiir.
Wallahua’lam bishowab


Artinya:
“Ya Allah, aku memohon petunjuk memilih yang baik dalam pengetahuanMu, aku mohon ditakdirkan yang baik dengan kudratMu, aku mengharapkan kurniaMu yang besar. Engkau Maha Kuasa dan aku adalah hambaMu yang dhaif. Engkau Maha Tahu dan aku adalah hambaMu yang jahil. Engkau Maha Mengetahui semua yang ghaib dan yang tersembunyi.
Ya Allah, jika hal ini (***) dalam pengetahuanMu adalah baik bagiku, baik pada agamaku, baik pada kehidupanku sekarang dan masa datang, takdirkanlah dan mudahkanlah bagiku kemudian berilah aku berkah daripadanya.
Tetapi jika dalam ilmuMu hal ini (***) akan membawa bencana bagiku dan bagi agamaku, membawa akibat dalam kehidupanku baik yang sekarang ataupun pada masa akan datang, jauhkanlah ia daripadaku dan jauhkanlah aku daripadanya. Semoga Engkau takdirkan aku pada yang baik, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas setiap sesuatu.”

Sholat Hajat
Sholat sunnah ini dilakukan karena adanya suatu hajat atau keinginan atau keperluan tertentu, baik berupa keperluan yang berhubungan dengan duniawi ataupun ukhrawi. Sholat adalah doa, Ketika seseorang ingin keinginan atau hajatnya dikabulkan oleh Allah swt, maka ia dianjurkan untuk sholat dan berdoa. Sholat Hajat adalah sholat sunnah yang lebih dikhususkan untuk memohon kepada Allah swt agar dikabulkan segala hajat yang diinginkan. Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqarah : 45, “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat.”

Sebelum melakukan sholat hajat, perlu dilakukan apa yang namanya Ikhtiar atau berusaha. Dengan berusaha maka kita sudah 99 % berhasil, tetapi yang 1 % adalah dengan memohon doa kepada Allah, yaitu salah satunya dengan Sholat Hajat.
Doa, ikhtiar, dan tawakal adalah kewajiban umat muslim dalam menyikapi banyaknya tuntutan dan cobaan hidup di dunia.

Dalam surat Al Baqarah: 45 di atas, selain sholat kita juga diperintahkan untuk senantiasa bersabar. Maksudnya kita diperintah oleh Allah untuk tidak bosan-bosannya untuk berikhtiar dan berdoa kepada Allah setiap hari dengan khusyuk. Hendaknya kita juga selalu berprasangka baik kepada Allah dan selalu yakin bahwa doa kita pasti akan dikabulkan. 

Bukti Sholat hajat sangat dianjurkan adalah sabda Nabi Muhammad SAW :
“Siapa yang berwudhu dan sempurna wudhunya, kemudian sholat dua rakaat (Sholat Hajat) dan sempurna rakaatnya maka Allah berikan apa yang ia pinta cepat atau lambat.” (HR Ahmad)

Waktu sholat Hajat adalah  di setiap waktu, tetapi tidak diperbolehkan mengerjakan sholat Hajat pada waktu yang dilarang seperti setelah sholat Ashar dan setelah sholat Subuh. Sholat Hajat dilakukan sendiri (munfarid). Banyaknya rakaat dalam sholat Hajat yaitu minimal dua rakaat dan maksimal sebanyak dua belas rakaat. Dalam pelaksanaanya, jika dikerjakan pada malam hari maka setiap dua rakaat sekali salam dan jika dilaksanakan pada siang hari maka boleh empat rakaat dengan sekali salam dan seterusnya.

Berikut ini tata cara sholat Hajat:
1.  Niat sholat Hajat di dalam hati: Ushollii sunnatal haajati rok’aataini lillaahi ta’aala (aku niat sholat sunah hajat karena Allah), Lalu Takbiratul Ihram.
Adapun niat sholat hajat sebagai berikut :


2.  Membaca do’a Iftitah, dilanjutkan dengan surat Al Fatihah kemudian membaca salah satu surat di dalam Al Quran.
3. Ruku’ sambil membaca Tasbih tiga kali.
4.I’tidal sambil membaca bacaannya.
5. Sujud yang pertama sambil membaca Tasbih tiga kali.
6. Duduk antara dua sujud sambil membaca bacaannya.
7. Sujud yang kedua sambil membaca Tasbih tiga kali
8. Setelah rakaat pertama selesai, lakukan rakaat kedua sebagaimana cara diatas, kemudian Tasyahhud akhir.
9. Setelah selesai maka membaca salam dua kali.

Jika dilaksakan sebanyak empat rakaat dengan satu salam maka setelah dua rakaat“tasyahhud awal” langsung berdiri tanpa memakai salam, kemudian lanjutkan rakaat ketiga dan keempat, lalu Tasyhhud akhir setelah selesai membaca salam dua kali. Setelah selesai sholat Hajat bacalah dzikir yang mudah dan berdoa sampaikan hajat yang kita inginkan, kemudian mohon petunjuk kepada Allah agar tecapai segala hajatnya.


Do’a setelah sholat hajat:



“Laailaaha illallahul haliimul kariimu subhaaanallahi robbil ‘arsyil ‘azhiim. Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin. As‘aluka muujibaari rahmatika wa ‘azaaima maghfiratika wal ghaniimata ming kulli birri wassalaamata min kulli itsmin. Laa tada’lii dzamban illa ghafartahu walaa hamman illaa farajtahu walaa haajatan hiya laka ridhan illaqodhaitahaa yaa arhamar raahimiin”.

Artinya: “Tidak ada Tuhan melainkan Allah Yang Maha Lembut dan Maha Penyantun. Maha Suci Allah, Tuhan pemelihara Arsy yang Maha Agung. Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. Kepada-Mu-lah aku memohon sesuatu yang mewajibkan rahmat-Mu, dan sesuatu yang mendatangkan ampunan-Mu danmemperoleh keuntungan pada tiap-tiap dosa. Janganlah Engkau biarkan dosadaripada diriku, melainkan Engkau ampuni dan tidak ada sesuatu kepentingan, melainkan Engkau beri jalan keluar, dan tidak pula sesuatu hajat yang mendapat kerelaan-Mu, melainkan Engkau kabulkan. Wahai Tuhan Yang Paling Pengasih dan Penyayang”

SHOLAT KHAUF
Yaitu Sholat yang dilakukan dalam keadaan ketakutan karena disebabkan oleh peperangan dan lain-lain. Sholat khauf ini disyari’atkan bagi umat Nabi Muhammad SAW hingga hari kiamat. Setelah ditinggalkan Rasulullah SAW, para sahabat juga masih menjalankan sholat khauf. Karena adanya sebab yang tetap, maka sholat ini dapat dilakukan sebagaimana solat Qashar. Sholat ini boleh berlaku dalam tiga keadaan dengan cara yang berbeda-beda.
Imam Ahmad mengatakan bahwa terdapat 6 atau 7 hadist yang meriwayatkan faedah melakukan solat khauf ini. Ibnu Qayyim juga mengatakan bahwa pada dasarnya terdapat 6 cara, tapi oleh sebagian ulama’ dibuat lebih banyak lagi.


1. MUSUH BERADA BUKAN DI ARAH KIBLAT
Jika demikian imam hendaklah membahagikan pasukannya menjadi dua bahagian, sebahagian berdiri menghadapi musuh dan sebahagian lain berdiri di belakang imam, kemudian imam mengimami bahagian yang ada di belakangnya satu rakaat, kemudian bahagian yang ada di belakang imam itu menyempurnakan solatnya secara mufaraqah dan setelah selesai lalu pergi menggantikan bahagian orang menghadap musuh, dan bahagian yang digantikan mereka itu lalu datang dan bermakmum kepada imam dan imam solat satu rakaat mengimami bahagian yang baru datang itu, sebelum Imam salam lalu bahagian ini menyempurnakan solatnya sendirian sementara Imam menunggu selepas tahiyyatnya untuk salam bersama bahagian yang kedua ini.
Kedudukan masalah ini ialah tatkala musuh berada di selain arah kiblat, sekira-kira kita tidak dapat melihat musuh di dalam solat, dan tidak selamat dari serangan musuh ketika di dalam solat itu, dan bilangan kaum muslimin banyak sekira-kira setiap kelompok muslimin mampu menahan serangan musuh.
Apabila demikian keadaannya, maka satu kelompok muslimin hendaknya menghadapi musuh, dan sekelompok yang lain supaya undur sekira-kira tidak terkena panahan atau tembakan musuh, lalu Imam memulakan solat dengan mengimani kelompok yang tidak berperang itu satu rakaat.
Apabila imam telah berdiri pada rakaat yang kedua, maka kaum muslimin yang bermakmum terlebih dahulu itu keluar dari mengikuti imam dengan niat mufaraqah (berpisah), (jika tidak niat mufaraqah, maka batal solatnya). Kemudian apabila telah memisahkan diri (mufaraqah), maka mereka menyempurnakan solatnya sendirian meghabiskan rakaat yang kedua dan tasyahhud lalu salam dan berangkat menghadapi musuh; dan kelompok muslimin yang menghadapi musuh lalu datang bermakmum kepada imam yang menunggu atau memanjangkan pada rakaat yang kedua. Jika mereka telah sempat menyusul, maka Imam meneruskan solat untuk rakaat yang kedua.
Kemudian apabila imam telah duduk tasyahhud, maka kelompok muslimin yang bermakmum itu bangun berdiri dan menyempurnakan rakaat yang kedua, dan imam menunggu pada tasyahhud. Jika kelompok makmum yang kedua itu telah menyusul tasyahhud, lalu imam salam bersama-sama makmum itu.
Solat dengan kaifiyah yang demikian itu adalah solat yang di­laksanakan oleh Rasulullah (S.A.W.) dalam Perang Dzatir Riqak, sebagai­mana yang diriwayatkan oleh lmam Bukhari dan lmam Muslim dari riwayat Sahal.
Dzatir Riqak adalah suatu tempat di negeri Najd. Perang itu dinama­kan Dzatir Riqak sebab peperangan itu berlangsung di bawah pepohonan yang bernama Dzatir Riqak. Ada yang mengatakan bahawa kerana kaum muslimin membalut tetapak kakinya dengan kain pembalut, kerana telapak kaki mereka berpecah-pecah. Ta’lil yang kedua itulah yang shahih, kerana ta’lil yang kedua itu telah tetap di dalam Hadits sahih.
Dari Soleh bin Khawwat dari Sahl bin Khaitsamah, katanya, “Nabi SAW berbaris dengan satu kelompok lainnya menghadapi musuh. Beliau bersembahyang bersama kelompok pertama itu serakaat dan tetap berdiri. Kelompok itu menyelesaikan sendirinya solatnya lalu pergi menghadapi musuh, lalu datanglah kelompok kedua yang bersembahyang serakaat bersama beliau ‎‎– bagi Nabi saw merupakan rakat kedua- Beliau tetap saja duduk menunggu mereka menyelesaikan solatnya, kemudian beliau memberi salam dengan mereka bersama2.”[diriwayatkan oleh Jamaah kecuali Ibnu Majah]
Dari Ibnu Umar ra katanya, “Rasulullah saw bersembahyang dengan salah satu dari dua kelompok satu rakaat, sedang kelompok lainnya menghadapi musuh. Kemudian kelompok pertama pergi menggantikan kelompok kedua untuk menghadapi musuh, sementara kelompok kedua ini datang bersembahyang dengan Nabi saw serakaat, lalu beliau memberi salam dan kedua kelompok itu masing2 menyelesaikan serakaat lagi.”[Hadis riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim]
Dari Ibnu Mas’ud katanya, “Kemudian imam memberi salam dan mereka –yakni kelompok kedua- berdiri dan menyelesaikan serakaat lagi, kemudian memberi salam.”

IMAM BERSEMBAHYANG DENGAN KEDUA2 KELOMPOK 2 RAKAAT
Dari Jabir ra katanya, “Nabi saw bersembahyang dengan sekelompok sahabatnya dua rakaat, lalu bersembahyang lagi dengan kelompok yang lain dua rakaat, kemudian beliau memberi salam.”[Hadis riwayat Syafi’I dan Nasa’I]
Dari Jabir ra katanya, “Nabi saw melakukan solat khauf bersama kami. Beliau bersembahyang dengan sebahagian sahabatnya dua rakaat lalu memberi salam, dan jamaah inipun undur. Lalu sahabat2 lain maju ke muka dan beliaupun bersembahyang dengan mereka dua rakaat lagi kemudian memberi salam. Jadi Nabi saw bersembahyang 4 rakaat, sedang jamaah itu masing-masing 2 rakaat.”[Hadis riwayat Ahmad, Abu Daud dan Nasa’I]
Dari Jabir ra juga katanya, “Kami ikut bersama Nabi saw dalam peperangan Dzatur Riqa’. Solat dibacakan qamatnya. Beliau bersembahyang dengan satu kelompok dua rakaat, lalu mereka ini undur kebelakang. Kemudian beliau bersembahyang dengan kelompok yang lain 2 rakaat pla. Maka solat Nabi saw adalah 4 rakaat, sedang kedua kelompok masing-masing 2 rakaat.”

2. MUSUH BERADA ARAH KIBLAT
Imam hendaklah mengatur para muslimin menjadi dua barisan, imam bertakbiratul-ihram bersama seluruh kaum muslimin, lalu seluruh kaum muslimin ini solat bersama imam hingga pada i’tidal dari rukuk rakaat yang pertama, kemudian ketika imam sujud, maka salah satu barisan muslimin sujud bersama, sama ada barisan yang pertama ataupun yang kedua. Yang demikian itu adalah mazhah yang sahih. Dalam hal ini tidak ditentukan barisan yang manakah yang harus berjaga-jaga.
Kemudian apabila imam dan orang-orang yang sujud bersamanya telah bangun ke rakaat yang kedua, barisan yang satunya lagi sujud dan menyusuli imam. Imam membaca Al-Fatihah bersama-sama kaum muslimin dan rukuk bersama sekaliannya. Apabila imam i’tidal dari rukuk, barisan yang sujud pada rakaat yang pertama menjaga musuh dan barisan yang lainnya pula sujud bersama imam. Apabila barisan yang sujud bersama imam telah mengangkat kepalanya, barisan yang berjaga-jaga lalu sujud.
Yang demikian itu adalah solat Rasulullah (S.A.W.) di tanah ‘Asfan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan lain-lainnya, walaupun di dalam riwayat lmam Muslim ada keterangan bahawa barisan yang berdampingan dengan imam itu yang sujud terlebih dahulu dan barisan yang lainnya tetap berdiri menghadapi musuh.
Para Ulama Mazhab Syafi’i mengatakan bahawa untuk melaksanakan solat dengan cara seperti itu diperlukan tiga syarat:
1. Musuh harus berada di arah kiblat.
2. Musuh harus berada di atas gunung atau di tanah datar dan tidak ada sesuatu yang menghalangi penglihatan kaum muslimin
3. Jumlah kaum muslimin harus banyak yang dapat dibahagi dua, bahagian yang
satunya sujud dan bahagian yang lain berjaga.

Ketahuilah, seandainya imam mengatur mereka menjadi beberapa saf, hal itu boleh; demikian pula apabila sebahagian dari barisan itu berjaga, juga boleh.
Dalil Dari HaditsDari Jabi ra katanya, “Saya ikut solat Khauf bersama Rasulullah saw. Barisan kami dibahagi 2, dan kedua2nya berdiri di belakang beliau, sedang musuh berada di depan di arah kiblat. Nabi saw membaca takbir dan kamipun takbir pula, beliau ruku’ dan kamipun ruku’, beliau I’tidal kami pun I’tidal pula. Ketika beliau sujud, maka saf yang di muka (pertama) ikut sujud, sedang (saf) di belakang tetap berdiri menghadap musuh. Setelah Nabi saw selesai sujud dengan saf pertama, maka turunlah saf kedua untuk melakukan sujud lalu kembali berdiri. Kemudian saf yang di belakang maju ke depan dan saf yang di depan undur kebelakang. Lalu Nabi saw ruku’ dan kamipun ruku’ pula, beliau mengangkat kepala, kamipun mengangkat kepala. Lalu apabila beliau sujud, maka saf yang didepan yang diwaktu rakaat pertama saf di belakang mengikutinya sujud, sedang saf yang kedua menghadapi musuh. Dan setelah Nabi saw selesai sujud dengan saf pertama, maka sujudlah pula saf kedua, kemudian beliau memberi salam dan kamipun sama-sama memberi salam pula.”[Hadis riwayat Ahmad, Muslim, Nasa’I, Ubn Majah dan Baihaqi]

KEDUA-DUA KELOMPOK SAMA-SAMA SOLAT DENGAN IMAM
Dari Abi Hurairah ra katanya, “Saya ikut melakukan solat Khauf bersama Rasulullah saw pada peperangan di Najad. Beliau hendak solat asar, maka berdirilah beliau dengan satu kelompok sedang kelompok lain menghadapi musuh dengan punggung mereka menghadap kiblat. Beliau membaca takbir dan seluruhnya –yakni yang sedang bermakmum dan sedang menghadapi musuh- turut bertakbir pula, lalu melakukan solat satu rakaat bersama kelompok di saf pertama serta sujud bersama mereka, sedang kelompok lain sedang berdiri menghadapi musuh. Setelah berdiri kembali, kelompok yang telah mendapatkan satu rakaat itu pergi menghadapi musuh menggantikan kawan-kawannya. Lalu kelompok yang digantikan itu kemudian sujud sedang Rasulullah saw tetap berdiri. Lalu mereka berdiri untuk rakaat kedua, dan setelah itu Nabi memimpin mereka ruku’ sujud sampai duduk. Kelompok yang pertama pun datang lalu ruku’ dan sujud sendiri-sendiri. Setelah mereka duduk, maka Nabi saw memberi salam diikuti oleh mereka. Jadi Rasulullah saw bersembahayng 2 rakaat dan masing-masing kelompok juga 2 rakaat.”[Hadis riwayat Ahmad, Abu Daud dan Nasa’I]

SOLAT IMAM 2 RAKAAT MANAKALA MAKMUM SATU RAKAAT
Dari Ibnu Abbas katanya, “Nabi saw bersembahang dalam peperangan Dzi Qird. Orang-orang berbaris dibelakang beliau dua saf, Satu saf dibelakang beliau dan satu saf menghadapi musuh. Beliau bersembahyang dengan saf di belakangnya itu satu rakaat, lalu saf yang sudah bersembahyang ini pergi mengantikan yang belum. Yang digantikan ini melakukan solat dengan Nabi saw satu rakaat dan tidak menambahi lagi.”[Hadis Riwayat an-Nasa’i]
Dari ibnu Abbas juga katanya, “Allah mewajibkan solat atas Nabi saw di waktu menetap 4 rakaat, diwaktu berpergian 2 rakaat dan di waktu perang satu rakaat.” [Hadis riwayat Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Nasa’i]
Dari Tsalabah bin Zahdan katanya, “Kami ikut dengan Sa’id bin Ash di Thabristan, lalu tanyanya, “Siapakah di antaramu yang pernah sembahyang Khauf bersama Rasulullah saw?” Hudzaifah menjawab, “Saya!” Iapun bersembahyang dengan satu golongan satu rakaat dan dengan golongan lain serakaat pula dan masing-masing mereka tidak menambahnya lagi.” [Hadis riwayat Abu Daud dan Nasa’i]

3. SOLAT DALAM KEADAAN GAWAT
Tatkala para muslimin dalam keadaan yang sangat takut dan dalam berkecamuknya peperangan, dengan musuh menyerang dari segenap penjuru, baik depan maupun belakang, kiri ataupun kanan, sedangkan waktu solat semakin hampir habis, maka orang yang solat boleh dilakukan sekira-kira mampu, baik secara berjalan kaki atau naik kenderaan, baik menghadap kiblat ataupun tidak menghadap kiblat.
Jika waktu solat hampir tamat maka hendaklah solat sebagaimana keadaan yang ada. Tidak perlu mengadap kiblat dan tidak perlu sujud dan ruku’. Memadai dengan isyarat kepala. Cuma hendaklah ketika isyarat sujud, hendaklah lebih rendah dari isyarat ruku’. Ini berdasarkan hadis dari Ibnu Umar riwayat Imam Bukhari. Ini sama juga ketika mengejar atau dikejar musuh. Perlu juga diketahui, kaedah khauf juga boleh dilakukan dalam sebarang keadaan yang memerlukannya seperti terperangkap dalam banjir atau kebakaran. Kerana solat itu wajib.
Cara ini adalah dinamakan Solat Syiddatul Khauf (dalam keadaan yang sangat takut). Apabila datang sangat ketakutan dan tidak mungkin dapat membahagi pasukan muslimin kerana banyaknya musuh, atau yang seumpamanya dan berkecamuknya peperangan, jadi seandainya sedang naik kenderaan tidak dapat turun, dan seandainya sedang berjalan kaki tidak dapat berbelok, maka para muslimin boleh melakukan solat dengan berjalan kaki ataupun naik kendaraan, menghadap kiblat ataupun tidak, sambil berlari, merangkak atau meniarap. Allah Ta’ala berfirman:
“]ika kamu sekalian dalam ketakutan, kamu sekalian boleh solat dengan berjalan kaki atau naik kendaraan.” (Al-Baqarah: 239)
Ibnu ‘Umar r.a. berkata bahawa baik menghadap kiblat ataupun tidak. Demikian juga erti yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan Nafik, iaitu hamba merdeka dari lbnu ‘Umar r.a. Nafik mengatakan: “Aku meng­i’tikadkan bahawa lbnu ‘Umar tentu menyebutkan yang demikian itu dari Nabi Muhammad (S.A.W.)”
Al-Mawardi mengatakan bahawa perkataan Ibnu ‘Umar itu diriwayat­kan oleh Imam Syafi’i dengan sanad dari Nabi Muhammad (S.A.W.). Para Ulama Mazhab Syafi’i mengatakan: Para muslimin solat sedapat­-dapatnya dan tidak boleh mengakhirkan solat dan waktunya. Para muslimin yang menjalani solat menurut cara ini tidak wajib mengulangi solatnya.